Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono
AIR
SELOKAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
"Air
yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari
minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
--
ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu
di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau
lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan
mayat di kamar mati.
Senja
ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang
tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore,
ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi
kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air
yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
AKU
INGIN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan
kata yang tak sempat diucapkan
kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
AKULAH
SI TELAGA
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
akulah
si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah
menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah
sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai
di seberang sana, tinggalkan begitu saja
--
perahumu biar aku yang menjaganya
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
ANGIN,
1
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
angin
yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah
pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya
untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin
itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama
kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
--
sampai pagi tadi:
ketika
kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising
ini tanpa Hawa
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
ANGIN,
2
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Angin
pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor
ular lewat, menghindar.
Lelaki
itu masih tidur.
Ia
bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di
pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
ANGIN,
3
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
"Seandainya
aku bukan ......
Tapi
kau angin!
Tapi
kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup
celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya
aku . . . ., ."
Tapi
kau angin!
Nafasmu
tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara
cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya
......
Tapi
kau angin!
Jangan
menjerit:
semerbakmu
memekakkanku.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
ATAS
KEMERDEKAAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
kita
berkata : jadilah
dan
kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di
atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di
tepinya cakrawala
terjerat
juga akhirnya
kita,
kemudian adalah sibuk
mengusut
rahasia angka-angka
sebelum
Hari yang ketujuh tiba
sebelum
kita ciptakan pula Firdaus
dari
segenap mimpi kita
sementara
seekor ular melilit pohon itu :
inilah
kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Horison
Thn
III, No. 8
Agustus
1968
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
DI
TANGAN ANAK-ANAK
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Di
tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang,
menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di
mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan,
jangan kauganggu permainanku ini."
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
BERJALAN
KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
waktu
berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku
berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku
dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah
menciptakan bayang-bayang
aku
dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus
berjalan di depan
BUNGA,
1
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
(i)
Bahkan
bunga rumput itu pun berdusta.
Ia
rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya
cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas
padang itu;
malam
hari ia mendengar seru serigala.
Tapi
katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si
bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan
bunga rumput itu pun berdusta.
Ia
kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya
menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat
pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan
ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya,
"Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga
rumput: pilihan dewata!"
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
BUNGA,
2
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
mawar
itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman
memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan
sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan
untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya
dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini
wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar
demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar
di permukaan kolam
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
BUNGA,
3
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
seuntai
kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara
subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak
ada sahutan
seuntai
kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma
kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu
terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi
jasadku?"
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
CARA
MEMBUNUH BURUNG
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
bagaimanakah
cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang
tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya
ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari
cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai
jendela!)
soalnya
ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya
ia baka
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
CERMIN,
1
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
cermin
tak pernah berteriak;
ia
pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski
apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali
ia hanya bisa bertanya:
mengapa
kau seperti kehabisan suara?
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
CERMIN,
2
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
mendadak
kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
tapi
cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca,
kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan
cermin menangkapmu sia-sia
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
DI
ATAS BATU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
ia
duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia
gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia
pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
--
ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PERTAPA
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Jangan
mengganggu:
aku,
satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah
kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar,
sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku,
Saudara?
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
DUA
PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
1
sehabis
langkah-langkah kaki: hening
siapa?
barangkali
si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak
semula sudah diikutinya jejakmu
padahal
harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu
2
seolah-olah
kau harus segera mengucapkan sederet kata
yang
pernah kaukenal artinya,
yang
membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
yang
suka menjeritjerit kalau sarat berbunga
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
GONGGONG
ANJING
untuk
Rizki
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
gonggong
anjing itu mula-mula lengket di lumpur
lalu
merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup
lewat celah-celah genting
bergema
dalam kamar demi kamar
tersuling
lewat mimpi seorang anak lelaki
siapa
itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
HATIKU
SELEMBAR DAUN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
hatiku
selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti
dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada
yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat
adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
KEPOMPONG
ITU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
kepompong
yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa
lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong
itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan
diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara
bening dan bermuatan bau bunga
dan
kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum
saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
KETIKA
MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
"Hus,
itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang
malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
--
biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan
kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil
mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan
yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat
tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu
kencing di sudutnya.
Hanya
saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu
capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di
seberang sana tadi.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
KISAH
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Kau
pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang
tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu
mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis
penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari
ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu,
seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya
namamu nyaring-nyaring.
Kemudian
ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
KUKIRIMKAN
PADAMU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
kukirimkan
padamu kartu pos bergambar, istriku,
par
avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang
tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku,
tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun
ada.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
KUTERKA
GERIMIS
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Kuterka
gerimis mulai gugur
Kaukah
yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil
melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti
nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas
itu
Seperti
badai rintik-rintik yang di luar itu
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
LIRIK
UNTUK LAGU POP
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
jangan
pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
--
pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!);
swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku
pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam
kabut
--
nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku
akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung
dalam goyang anggrek
--
ketika hutan mendadak gaib
jangan
pejamkan matamu:
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
MATA
PISAU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
mata
pisau itu tak berkejap menatapmu
kau
yang baru saja mengasahnya
berfikir:
ia tajam untuk mengiris apel
yang
tersedia di atas meja
sehabis
makan malam;
ia
berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
DI
SEBUAH HALTE BIS
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Hujan
tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau
memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk
dan tampak putih.
Pagi
harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas
darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa
sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan
sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut
namamu.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PERAHU
KERTAS
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Waktu
masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali;
alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia
akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat
gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak
itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas
dari rindu-mu itu.
Akhirnya
kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah
kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di
sebuah bukit."
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PERISTIWA
PAGI TADI
kepada
GM
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Pagi
tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang
terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang
tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang
terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai
diangkat ke tepi jalan.
Sore
tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu
menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan
menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah
sakit.
Malam
ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PESAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Tolong
sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku
tertembus anak panahnya.
Kami
saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada
pembatasnya.
Kalau
kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya,
dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PESTA
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
pesta
berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar
pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali
muncul dalam mimpi-mimpinya
.
. . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
PUISI
CAT AIR UNTUK RIZKI
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
angin
berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu,
aku ingin mempermainkanmu! "
kabel
telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya
gemas, "jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan
meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya,
'lepaskan daun itu!"
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SAJAK
NOPEMBER
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Siapa
yang akan berbicara untuk kami
siapa
yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah
rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang
berjejal
bukanlah
tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi
siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan
mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa
yang akan berbicara atas nama kami
yang
berjejal dalam kubur
bukanlah
pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah
upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi
siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa
yang bisa paham makna kehendak kami
kami
yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa
dicatat namanya
kepada
Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah
Tanah Air
kami
telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang
rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk
pergi lebih dahulu
apakah
kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah
kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka
hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa
mengeluh serta putus asa
di
Solo dua orang dalam satu kuburan
di
Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di
Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan
kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi
katakanlah kepada anak cucu kami;
di
sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun
dalam satu lobang
dan
tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur
yang paling besar telah ditabuh
dan
orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet
yang paling lantang ditiup
dan
mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami
pun bangkit dari kubur
memeluki
orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami
yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik
oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami
hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami
hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan
hari depan, sudah itu : mati
orang-orang
pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa
tahu siapa kami ini
tiada
mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada
mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada
mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan
sudah itu : mati
siapa
berkata bahwa kami telah musnah
siapa
berkata
kami
kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami
kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di
ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada
menyadari kehadiran kami
siapa
berkata bahwa kami telah musnah
siapa
berkata
tanah
air adalah sebuah landasan
dan
kami tak lain baja yang membara hancur
oleh
pukulan
ialah
kemerdekaan
kemarin
giliran kami
tapi
besok mesti tiba giliranmu
kalau
saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap
tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup
dan mengerti makna kemerdekaan
dan
kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk
oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin
besok tiba giliranmu)
siapa
yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
siapa
yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat
untuk apa kamu pergi
siapa
yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa
yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat
kenapa kami tak kembali
begitu
hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa
saja untuknya
jawablah
: ya
begitu
agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab
lagi : ya
sudah
kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang
untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab
merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa
dan kehendak kami
sudah
kau dengarkah suara napas kami
menyusup
ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab
kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu
dan selalu berkelahi lagi
mungkin
pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin
pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi
toh tak ada bedanya:
kami
telah memulainya
dan
kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan
memang tak ada bedanya :
kalau
hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu
adalah awal pertaruhan
awal
dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski
kami pernah kau kenal atau tidak
meski
kami pernah kau jumpa atau tidak
kami
adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang
tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami
turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran
satu harapan yang pasti
walau
tak pernah kembali
kami
hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami
hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi
hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar
Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan
ampun
kami
adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi
adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar
tak lagi mengembara arwah kami
kami
telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami
telah mati
lahir
dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup
di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami
telah berkelahi; dan mati
tapi
siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan
mengatakannya kepada siapa pun
tapi
siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang
telah mati pagi sekali
dan
berjalan tanpa nama dan tanda
dalam
satu lobang kubur
kami
telah lahir dan selalu lahir
selalu
dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu
dan selalu berkelahi
di
mana dan kapan saja
biarkan
kami bicara lewat suara anak-anak
yang
menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah
kami bicara lewat kesunyian suasana
dari
orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara
bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas
rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah
kami bicara hari ini
lewat
suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat
kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Gelora
Th
III, No 19
(
Nopember 1962)
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
TUAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Tuan
Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya
sedang ke luar.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SAJAK
SUBUH
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Waktu
mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air.
Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak
di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali
warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi
subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
"Jangan
bermimpi!" gertak mereka.
Suara
itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara
lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami
perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "
Ia
rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SAJAK
TELUR
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
dalam
setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga
ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus
silau matahari memecah udara dingin
memuncak
ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan
telur
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SELAMAT
PAGI INDONESIA
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
selamat
pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan
menyanyi kecil buatmu.
aku
pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan
kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja
yang sederhana;
bibirku
tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku
terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu
kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di
mata para perempuan yang sabar,
di
telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami
telah bersahabat dengan kenyataan
untuk
diam-diam mencintaimu.
pada
suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar
tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor
ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku
pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan
kesangsian,
dan
menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang
megah,
biarkan
aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah
yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para
perepuan menyalakan api,
dan
di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah
hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat
pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi
salam kepada si anak kecil;
terasa
benar : aku tak lain milikmu
Basis
Thn.
XV - 4
Januari
1965
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
SERULING
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Seruling
bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya,
menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak
terbayangkan merdunya ....
Ia
meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SETANGAN
KENANGAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Siapakah
gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu.
Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia
seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama
tentang rencana ....
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SIHIR
HUJAN
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Hujan
mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
--
swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau
akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun
sudah kau matikan lampu.
Hujan,
yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
-
- menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus
kaurahasiakan
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
SUDAH
KUTEBAK
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Sudah
kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau
berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi
sedikit,
menggosok-gosokkan
tubuh di karang-karang,
menyambar,
berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar,
mabok membentur batu-batuan.
Kutebak
si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
Sendirian.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
TAJAM
HUJANMU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
tajam
hujanmu
ini
sudah terlanjur mencintaimu:
payung
terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air
yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal
yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji
yang buram berair kacanya,
dua-tiga
patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras
dinginmu
sembilu
hujanmu
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
TEKUKUR
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Kautembak
tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula
terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar,
lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.
Selembar
bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir,
namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang
burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes
darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari,
membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu
benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di
sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
TELINGA
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
"Masuklah
ke telingaku," bujuknya.
Gila
ia
digoda masuk ke telinganya sendiri
agar
bisa mendengar apa pun
secara
terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang
menciptakan suara.
"Masuklah,"
bujuknya.
Gila
! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada
diri sendiri.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
TENTANG
MATAHARI
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Matahari
yang di atas kepalamu itu
adalah
balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu
kau kecil, adalah bola lampu
yang
di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang
teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah
jam weker yang berdering
sedang
kau bersetubuh,
adalah
gambar bulan
yang
dituding anak kecil itu sambil berkata :
"Ini
matahari! Ini matahari!"
Matahari
itu? Ia memang di atas sana
supaya
selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu
itu.
YANG
FANA ADALAH WAKTU
Oleh
:
Sapardi
Djoko Damono
Yang
fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut
detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai
pada suatu hari
kita
lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita
abadi.
Perahu
Kertas,
Kumpulan
Sajak,
1982.
Comments
Post a Comment